Hendry Filcozwei Jan *
Dear Diary,
Metta
lagi sedih nih... Metta sayang banget sama Andreas, kami sudah setahun
pacaran. Dia baik, sayang sama Metta, perhatian, jarang marah,...
Pokoknya dia baik deh.
Ini
pacar Metta yang pertama, maunya juga yang terakhir. Tapi itu tidak
mudah. Andreas dan Metta berbeda keyakinan. Andreas ketua muda-mudi di
gereja-nya. Metta aktif di seksi perpustakaan Pemuda Vihara Vimala
Dharma (PVVD).
Cerita
perkenalan kami mirip kisah di sinetron! Dia yang menyenggol Metta saat
Metta sedang belanja di swalayan. Botol shampo dan BlackBerry yang
Metta pegang terjatuh. Metta marah besar. Dia berkali-kali minta maaf
dan berjanji akan mengganti semua kerusakan BlackBerry Metta. “Saya lagi
buru-buru, saya tak bawa uang banyak, ini Rp 100.000 panjar ganti
ruginya. Bawa saja ke tempat service, nanti biayanya saya ganti,”
katanya sungguh-sungguh. Dia memberikan nomor ponsel dan alamatnya. Dari
SMS-an, lalu BBM-an, akhirnya baru tau kalau kami satu kampus, cuma
beda fakultas. Kami jadi makin akrab dan akhirnya Andreas nembak Metta
dan Metta terima.
Beberapa kali Andreas bertanya, “Apakah Metta bersedia pindah agama agar kita nanti bisa bersatu?”
Batin
Metta bergejolak, pindah rasanya tidak mungkin. Keluarga besar Metta
sebagian besar Buddhis, Metta aktif di kegiatan PVVD. Andreas pun
mengatakan ia tidak mungkin pindah. Tak tau bagaimana akhir hubungan
kami.
Kami
sama-sama “keras kepala” (tak ada yang mau “mengalah” untuk urusan
agama, tapi juga tak ada yang berani mengambil keputusan untuk berpisah
karena sudah terlanjur sayang).
Apakah sebaiknya kami menikah tapi tetap menjalankan keyakinan masing-masing? Apakah ini solusi yang terbaik???
Entahlah...
Diary,
sudah dulu ya? Besok setelah pujabakti, Metta akan ke rumah Anita,
sahabat baik Metta di Taman Kopo Indah 3. Anita besok tidak ikut
pujabakti karena harus bantu-bantu perayaan ultah keponakannya. Sorenya
kami akan pesta rujak. Metta dapat tugas belanja buah-buahan di
Superindo, swalayan di dekat gerbang Taman Kopo Indah 1.
* * * * * * * * * * *
Saat membayar belanjaan di kasir, Metta bertemu Ko Jason, umat Vihara Vimala Dharma juga. Ia mantan ketua PVVD.
“Lho... kok belanja jauh-jauh ke sini. Bukannya Metta kost di sekitar kampus?” tanya Ko Jason.
“Mau main ke rumah Anita di TKI 3 Ko,” jawabku.
“Tadi naik apa ke sini, trus mau naik apa ke sana?”
“Tadi dari vihara naik angkot, nanti ke rumah Anita mau naik becak Ko.”
“Naik becak? Cewek cakep naik becak sendirian, entar diculik lho....
Ko Jason antar pakai motor saja ya? Tapi sebelumnya mampir dulu ke
rumah Ci Ling-Ling di TKI 2. Ini Ko Jason mau kasih biskuit dan minuman
untuk dua keponakan Ko Jason. Setelah itu baru Ko Jason antar Metta ke
rumah Anita. Gimana?”
Aku diam sejenak. “Boleh deh... Waktunya masih agak lama, jadi nggak buru-buru,” aku menerima tawaran Ko Jason.
“Oh ya, Ci Ling-Ling punya cukup banyak buku yang sudah tak terpakai. Katanya minta diberesin
dan disumbangkan ke perpustakaan vihara. Kalau tidak merepotkan, Metta
bantu seleksi ya, mana yang layak untuk perpustakaan dan mana yang tidak
layak. Nanti yang sudah terpilih Ko Jason yang antar ke vihara minggu
depan... Mau ya bantu seleksi?”
“Wah... anumodana atas sumbangannya. Oke, nanti Metta bantu seleksi bukunya” jawab Metta riang.
* * * * * * * * * * *
“Permisi...”
Ko Jason berteriak di depan rumah cicinya. “Seorang wanita paruh baya
membuka pintu rumah lalu bergegas membuka pintu pagar. “Oh... Nak Jason.
Ibu dan Bapak tidak ada di rumah. Tadi ke sini cuma antar pulang
Visakha dan Jonathan, lalu Ibu dan Bapak pergi lagi,” kata pembantu
tersebut.
“Ya Bik. Memang saya cuma janjian
sama Visakha dan Jonathan” jawab Ko Jason. “Metta, mari masuk” kata Ko
Jason. Dua anak muncul di pintu rumah, keduanya menyapa. “Ciu-ciu**
Jason, Namo Buddhaya...” sapa anak perempuan kecil itu sambil beranjali. “Ciu-ciu, Mama dan Papa barusan pergi...” kata anak laki-laki yang lebih besar. “Oh ya... Nggak apa-apa kok. Ciu-ciu cuma pengen ketemu Visakha dan Jason kok,” jawab Ko Jason
“Cici, ayo masuk!” sapa mereka bersamaan.
Ko
Jason menyerahkan kantong kresek berisi biskuit dan minuman kepada
kedua keponakannya tersebut, lalu mengajak Metta ke belakang. “Kita ke
gudang yuk!” kata Ko Jason. ”Bukunya sudah disiapkan kok.” Metta
mengikuti langkah Ko Jason ke belakang.
Metta dan Ko Jason melewati ruang tengah, Metta melihat ada dua altar di sana. Sebuah altar dengan Buddharupang dan sebuah altar lagi dengan patung Bunda Maria. Kok begini ya, batin Metta.
* * * * * * * * * * *
Ada
dua tumpuk buku di depan pintu gudang. Ko Jason memandang Metta dengan
tatapan agak aneh. “Kamu kenapa Metta? Kok mukanya seperti orang
bingung?” tanya Ko Jason. “Ah... nggak,” jawab Metta. “Kok kelihatannya nggak
seceria tadi?” tanya Ko Jason lagi. “Ehm... boleh Metta tanya? Tapi
maaf ya kalau dianggap lancang” Metta memberanikan diri. “Oh... nggak apa, silakan saja,” jawab Ko Jason.
“Jonathan itu saudara sepupu Visakha?”
“Bukan. Jonathan itu kakak kandung Visakha. Emang kenapa?”
“Nggak apa sih. Metta pernah lihat Visakha di Taman Putra Vidyasagara. Tapi kok nggak pernah lihat Jonathan?”
“Oh...
itu. Jonathan sekolah Minggu-nya di gereja. Mereka berbeda keyakinan.
Ci Ling-Ling Buddhis, suaminya Ko Christian beragama Katholik. Meski
berbeda keyakinan, mereka rukun-rukun saja. Kalau Minggu, Ko Christian
mengantar Ci Ling-Ling dan Visakha ke vihara, lalu Ko Christian dan
Jonathan ke gereja. Selesai kebaktian, Ko Christian dan Jonathan
menjemput Ci Ling-Ling dan Visakha di vihara lalu mereka jalan-jalan
menikmati hari Minggu,” kata Ko Jason dengan santainya. “Metta bisa
lihat sendiri ‘kan, tadi di ruang tengah ada dua altar,” sambung Ko
Jason.
Metta menggangguk perlahan.
* * * * * * * * * * *
Dear Diary,
Hari
ini Metta lega. Pertemuan Metta dengan Ko Jason tadi siang memberi
pencerahan. Apalagi dapat pinjaman buku “10 Tahun Melangkah Bersama”
dari Ko Jason. Penjelasan Bhante Uttamo tentang pernikahan dari sisi
Buddhis membuat Metta yakin, berpisah alias putus (meski pasti akan
sangat menyakitkan) merupakan jalan terbaik bagi kami berdua. Metta
tidak ingin keluarga Metta kelak seperti keluarga Ci Ling-Ling.
Secara
teori, satu keyakinan tentu lebih mudah mencapai kebahagiaan. Metta
susah membayangkan satu keluarga, tinggal seatap tapi berbeda prinsip.
Ada anak yang agamanya ikut Papa, ada anak yang agamanya ikut Mama.
Kalau hanya punya satu anak?
Memikirkannya
saja sudah memusingkan, apalagi menjalaninya. Diary, hari-hari ke depan
pasti lebih berat karena Metta putuskan akan berpisah secara baik-baik
dengan Andreas. Tapi Diary mau ‘kan tetap mendengar curhat Metta? Met
malam Diary...
* suami Linda Muditavati, ayah 2 putra: Anathapindika Dravichi Jan (Dhika) dan Revata Dracozwei Jan (Ray), pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com tinggal di Bandung.
** Ciu-ciu adalah paman (dari pihak ibu) dalam bahasa Tionghoa/ Mandarin.
Pernah dimuat di BVD No. 158/BVD/Juni-Juli 2014 halaman 26-29
Catatan:
Buku “10 Tahun Melangkah Bersama” adalah buku yang penulis buat saat merayakan ultah ke-10 pernikahan kami.
Cerpen
ini dikutip dari buku kumpulan cerpen Buddhis "Ketika Metta Memilih"
yang berisi 10 cerpen Buddhis karya Hendry Filcozwei Jan, terbitan
Ehipassiko Foundation (Okt 2014). Cerpen ini dapat dimuat di sini
setelah dapat izin langsung dari Handaka Vijjānanda (Ehipassiko
Foundation).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar